"Saya Masuk Islam Hanya Pura Pura. Inilah Satu Satunya Jalan Agar Saya Bisa Diterima Masyarakat Indonesia Yang Fanatik" (Christian Snouck Hurgronje)

Ilmu pengetahuan tak selalu sejalan dengan kesejatian. Tak semua orang berilmu berniat mencapai maqam kebenaran hakiki dalam kehidupannya. Cukup banyak orang yang serius mencari ilmu dengan tujuan duniawi semata. Bahkan ada yang untuk dijadikan senjata menghancurkan lawan politik. Barangkali itulah yang saya pahami tentang Snouck Hurgronje [1857 – 1936].

Snouck Hurgronje adalah intelektual Belanda, yang keluarga besarnya berdarah Yahudi. Tapi kemudian mereka berasimilasi, dan menjadi Protestan yang taat. Ayahnya, Christian de Visser, seorang Pendeta. Sedangkan kakek dari pihak Ibunya, DS. J. Scharp, adalah penginjil di Rotterdam yang mengarang “Korte schets over Mohammed en de Mohammedanen handleiding voor de kwekelingen van het Nederlanche zendelinggenootscap” — Sketsa Tentang Muhammad dan Pengikut Muhammad, Buku Pegangan Wajib Para Penginjil Belanda.

Snouck Hurgronje adalah simbol agen rahasia di bidang agama yang legendaris. Dia mempelajari Islam secara serius, untuk menjalankan misi rahasia dari Pemerintah Belanda. Agar bisa masuk ke Tanah Suci Mekkah, pada 16 Januari 1885, dia mengucapkan syahadat di depan Hakim Agama di Kota Jeddah. Dia pun berganti nama menjadi “Abdul Ghafar”. Tapi itu muslihat belaka. Pada tanggal yang sama, dia mengirim surat ke sahabatnya, Gold Ziher, Teolog Hongaria:

“Ich habe einen einfachen weg gefunden, der mir Insha’ Allah die thore der H stadt entschliessen wird. Ganz ohne ihzaar oel Islam geht dast naturlich nich” — saya telah menemukan pintu gerbang kota suci, Mekkah, itu. Tanpa sikap ihzarul Islam, berpenampilan atau berpura2 menjadi Islam, saya tak bisa masuk ke sana. [Surat ini sekarang disimpan di Akademi Ilmu Pengetahuan di Budapest, Hongaria].

Setelah masuk ke Kota Suci Mekkah, berguru pada beberapa Ulama, dan bergaul dengan banyak tokoh dari Hindia Belanda [Nusantara], yang tengah menunaikan ibadah haji, Snouck Hurgronje membuat laporan dan saran untuk Pemerintah Kolonial Belanda. Sebab, Belanda memahami bahwa kesadaran “jihad” menjadi landasan utama kaum pribumi melawan Penjajah Belanda.

Dan salah satu keberhasilan Snouck adalah melumpuhkan perlawanan rakyat Aceh. Hal ini secara khusus diminta Pemerintah kolonial Belanda karena kewalahan menghadapi militansi pejuang Aceh. Saran Snouck soal Aceh dibuat dalam tulisan panjang berjudul ‘Atjeh Verslag’, yang belakangan sebagian tulisan diterbitkan menjadi buku ‘De Atjeher’. Dalam laporan itu terungkap bahwa Snouck secara prinsip meminta Belanda mengubah strategi perang kontra gerilyawan. Snouck berpendapat politik pecah-belah [devide et impera] justru akan lebih efektif untuk menaklukkan Aceh.

Begitulah. Kita harus belajar dari kesalahan2 di masa lalu. Bukan tak mungkin, di era perang ideologi saat ini, banyak ‘Snouck Hurgronje’ lain di sekitar kita. Mereka bisa jadi bergelar “Ustadz”, Doktor, bahkan Profesor. Mereka ada yang menjadi petinggi organisasi, atau bahkan intelektual di kampus2 yang terpandang. Mereka “menafsirkan” ayat2 Allah sesuai kehendak bowheer yang menjadi Tuannya.

Seperti Snouck, para ilmuwan begundal ini menguasai Bahasa Arab dengan fasih. Mampu menukil ayat Al-Qur’an dan Hadist. Hanya saja mereka menggunakan konteks yang sengaja dipilih agar cocok dengan kepentingan tertentu. Pendapat mereka, meskipun sesat, seolah “masuk akal” padahal sama sekali tak masuk akal. Otak mereka merasa penuh. Tapi qalbu mereka melompong, tanpa api ghirah Islam. Tak cuma dalam bidang agama, dalam cabang keilmuan lain — politik, ekonomi, komunikasi, budaya dll., saat ini saya merasa menemukan banyak tokoh berkarakter Snouck Hurgronje. Barangkali inilah yang dimaksud Julien Benda [1867 – 1956], filsuf Perancis yang keren itu, dalam karyanya “La Trahison des Clercs” — Penghianatan Kaum Cendekia !. Dilansir dari bareta.id

Siti Masruroh

0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *